Indahnya Islam, Manisnya Iman (Bagian 3)

Indahnya Islam, Manisnya Iman
Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan keterangan yang kami sampaikan di atas, karena kalau kita renungkan hikmah-hikmah yang agung dari ujian dan cobaan tersebut, kita dapati bahwa semua itu justru memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang beriman dalam menambah keimanan dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah ?, karena di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: Allah ? menjadikan cobaan tersebut untuk membersihkan dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya yang beriman (seperti yang diisyaratkan dalam hadits di atas), juga untuk semakin menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan mereka kepada Allah ?. (dan masih banyak hikmah-hikmah yang lain, untuk lebih lengkapnya silahkan baca hikmah-hikmah ujian yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau "Igatsatul lahfaan min mashôyidisy syaithôn" (2/187-195).
Kemudian, dari penjelasan di atas timbul satu pertanyaan, yang kemungkinan juga ada di benak kita: kalau memang iman itu hakikatnya manis dan islam itu hakikatnya indah, mengapa kebanyakan dari kita belum merasakan hal itu ketika melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah ?, terlebih lagi ibadah-ibadah yang dianggap berat oleh kebanyakan orang, seperti shalat malam, puasa sunnah, bersedekah dll? Mengapa kebanyakan dari kita masih merasakan berat dan susah ketika melaksanakan ibadah-ibadah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami akan mengemukakan satu contoh agar kita mudah memahami masalah ini. Kalau misalnya kita membayangkan suatu makanan yang kita anggap paling enak dan lezat, yang rasa enak dan lezatnya makanan ini disepakati oleh semua orang yang sehat dan berakal, misalanya saja: sate atau gulai kambing muda (atau makanan apa saja yang dianggap paling enak dan lezat), seandainya makanan ini kita hidangkan dihadapan seorang yang sedang sakit demam atau sariawan, atau minimal kurang enak badan, kira-kira apa yang akan dilakukannya terhadap makanan tersebut? Apakah dia akan menyantapnya sampai habis seperti kalau makanan tersebut kita hidangkan di hadapan orang yang sehat?
Jawabnya tentu saja tidak, karena sebagian dari organ tubuhnya kurang sehat dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka dia tidak bisa merasakan enak dan lezatnya makanan tersebut. Dalam hal ini tentu saja yang kita permasalahkan dan perlu diperbaiki adalah kondisi orangnya dan bukan makanan tersebut. Demikian pula hal ini berlaku pada ibadah-ibadah yang Allah ? syariatkan kepada kaum muslimin, kenikmatan dan kelezatan ibadah-ibadah tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang benar-benar sehat dan sempurna keimanannya. Adapun orang yang kurang sehat imannya karena masih ada penyakit dalam hatinya, maka diapun belum bisa merasakan kenikmatan dan kemanisan tersebut, dan dalam hal ini berarti yang kurang dan perlu diperbaiki adalah hati dan keimanan orang tersebut bukan ibadah-ibadah itu sendiri.
Oleh karena itu yang harus dilakukannya adalah berusaha keras dan berjuang untuk menyembuhkan dan menghilangkan penyakit tersebut, dengan cara memaksa diri untuk melakukan terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut. Terapi ini telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah ?, dan insya Allah ? akan kami sebutkan ringkasannya –, agar nantinya setelah penyakit hati tersebut sembuh dan imannya telah sehat, barulah dia akan merasakan kenikmatan & kemanisan ketika beribadah & mendekatkan diri kepada Allah ?.
Adapun terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut, maka ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah ?, karena itulah Allah ? mensifati kitab-Nya Al Qur-an sebagai syifa (obat/penyembuh) dalam firman-Nya:
(وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً)
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian" (QS. Al Israa':82).
Juga dalam ayat lain Allah ? berfirman:
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ)
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al Qur-an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Yuunus:57).
Kemudian dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah ? menggambarkan bahwa petunjuk yang beliau ? bawa dari Allah ? berfungsi untuk menghidupkan dan menyembuhkan penyakit hati manusia, sebagaimana hujan yang Allah ? turunkan ke bumi untuk menghidupkan dan menumbuhkan tanah yang gersang dan tandus. Dari Abu Musa Al Asy'ari ?, bahwa Rasulullah ? bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang (Allah ?) turunkan ke bumi…" (HSR Al Bukhari 1/42 dan Muslim 4/1787).
Maka untuk membersihkan dan mensucikan jiwa serta mengobati penyakit hati, caranya tidak lain adalah dengan mengamalkan petunjuk dan syariat Allah ? dalam Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah ? lahir dan batin, bukan dengan cara-cara bid'ah (yang diada-adakan) dan ditetapkan oleh orang/kelompok tertentu yang hanya berdasarkan mimpi, khayalan, bisikan jiwa, akal atau perasaan dan sama sekali tidak bersumber dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah ?. Sebagaimana cara-cara dan wirid-wirid bid'ah yang dibuat-buat oleh kelompok-kelompok tarekat sufiyah dll, karena syariat Islam ini adalah syariat yang lengkap dan sempurna, yang menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin dalam urusan agama mereka, terlebih lagi masalah yang penting seperti masalah pensucian jiwa dan pengobatan penyakit hati ini.

Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, silahkan merujuk keterangan para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini, seperti Ibnul Qayyim dalam beberapa kitab beliau, misalnya kitab "Ighôtsatul lahfân", "Ad Da-u wad dawâ' ", "Miftâhu dâris sa'âdah, Al wâbilush shoyyib" dll. Begitu juga Syaikh Salîm Al Hilâli telah menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah penting ini dengan judul "Manhâjul anbiyâ' fî tazkiyatin nufûs".
Kemudian secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah ?, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk menyembuhkan penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara penyembuhan, yang beliu istilahkan dengan "madârush shihhah" (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:
1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amal shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al Qur-an dengan menghayati kandungan maknanya, berdzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dll.
2). Al Himyatu 'anil mu'dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, karena perbuatan-perbuatan tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.
3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta ampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah ? .
Dan tentu saja selama proses penyembuhan penyakit hati ini, seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan cara-cara penyambuhan di atas, artinya sebelum dia mencapai kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal perjalanan menempuh jalan Allah ? ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penyembuhan penyakit hati/imannya, dan dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan cara-cara penyembuhan tersebut agar proses penyembuhan penyakit hati tersebut berlangsung dengan baik dan sempurna. Sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya, meskipun makanan tersebut terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan misalnya. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah ?:
حجبت الجنّة بالمكاره و حجبت النار بالشهوات
"Jannah (surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia" (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah ?).
Yang perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan diawal/permulaan menempuh jalan mencapai ridha Allah ?, yaitu selama proses penyembuhan dan pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah ? jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya ?, yang kemudian setelah Allah ? mengetahui kesungguhan dan kesabaran hamba tersebut, barulah setelah itu Allah ? memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba tersebut, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan iman kepadanya.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.